Pembahasan RAPBD 2026 Gunungkidul Alot, DPRD dan Bupati Belum Capai Kesepakatan
Diskusi Yogyakarta — Menjelang akhir tahun anggaran, pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2026 di Kabupaten Gunungkidul masih menghadapi jalan terjal. Hingga pertengahan November 2025, DPRD dan pihak eksekutif yang dipimpin Bupati Gunungkidul belum juga mencapai kesepakatan final mengenai rancangan anggaran tersebut.
Padahal, berdasarkan ketentuan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, penetapan APBD harus sudah rampung dan disahkan paling lambat pada 30 November 2025. Bila batas waktu tersebut terlewati, daerah terancam mendapat sanksi berupa penundaan pembayaran gaji bagi kepala daerah dan anggota DPRD selama enam bulan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan legislatif dan eksekutif, mengingat keterlambatan pengesahan anggaran akan berdampak pada roda pemerintahan dan pelayanan publik di awal tahun depan.
Pembahasan Berjalan Alot karena Keterbatasan Fiskal
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Gunungkidul, Ery Agustin Sudiyanti, mengakui bahwa pembahasan anggaran kali ini berjalan lebih rumit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, faktor utama yang menyebabkan perdebatan panjang adalah keterbatasan ruang fiskal daerah, yang semakin menyempit akibat penyesuaian dana dari Pemerintah Pusat.
“Pembahasan sudah berlangsung lebih dari satu bulan, tetapi masih ada beberapa poin krusial yang belum disepakati bersama bupati. Kendala utamanya adalah penyesuaian belanja akibat keterbatasan anggaran,” ujar Ery dalam wawancara pada Selasa (11/11/2025).
Ery menjelaskan, penurunan Transfer ke Daerah (TKD) menjadi faktor paling signifikan yang mempengaruhi postur RAPBD 2026. Pemangkasan dana dari pusat memaksa pemerintah daerah untuk menata ulang sejumlah program dan melakukan efisiensi pada proyek-proyek non-prioritas.
“Karena dana TKD dipotong, kami harus melakukan efisiensi dan menyesuaikan kembali program yang sudah direncanakan. Beberapa kegiatan pembangunan mungkin akan direalokasi atau ditunda pelaksanaannya,” tambahnya.
Fokus Pembahasan: Belanja Publik, Pendidikan, dan Infrastruktur Dasar
Beberapa isu utama yang masih menjadi perdebatan antara DPRD dan Pemkab antara lain alokasi untuk pendidikan, pembangunan infrastruktur pedesaan, serta belanja pegawai. DPRD menilai pemerintah daerah perlu lebih menitikberatkan anggaran pada sektor publik yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat, sementara pihak eksekutif berupaya menjaga keseimbangan fiskal dan keberlanjutan program strategis jangka panjang.
Sektor pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas utama sesuai amanat undang-undang, masing-masing minimal harus memperoleh 20% dan 10% dari total APBD. Namun, keterbatasan dana membuat ruang manuver untuk sektor lain menjadi sempit, terutama bagi program pembangunan jalan desa, irigasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Selain itu, belanja pegawai dan biaya operasional pemerintahan juga menjadi sorotan. Proporsinya dinilai masih cukup tinggi, sehingga menyulitkan upaya memperbesar porsi anggaran pembangunan fisik.
Risiko Administratif dan Dampak terhadap Masyarakat
Apabila RAPBD tidak disahkan hingga batas waktu akhir November, maka berdasarkan Pasal 312 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, gaji kepala daerah dan anggota DPRD dapat ditunda selama enam bulan. Selain itu, pelaksanaan program pada awal tahun 2026 juga akan terhambat karena kegiatan belum memiliki dasar hukum anggaran.
Hal ini dapat berdampak langsung pada penyaluran bantuan sosial, proyek infrastruktur, dan pembayaran kontrak kerja yang bergantung pada APBD baru. DPRD menyadari pentingnya menghindari keterlambatan tersebut agar pelayanan publik tetap berjalan tanpa gangguan.
“Kami tentu tidak ingin ada penundaan apalagi sanksi. Karena itu, kami bekerja keras agar kesepakatan bisa dicapai sebelum batas waktu yang ditetapkan,” kata Ery optimistis.
Jadwal Rapat Paripurna Penetapan Sudah Disiapkan
Sebagai langkah percepatan, DPRD Gunungkidul telah menjadwalkan rapat paripurna penandatanganan nota kesepakatan RAPBD 2026 bersama bupati pada Jumat (14/11/2025). Rapat tersebut diharapkan menjadi titik temu bagi kedua pihak untuk menyepakati rancangan akhir, sebelum dibahas lebih lanjut dalam rapat penyempurnaan dan pengesahan.
Sejumlah anggota dewan menyebut, meski pembahasan berlangsung alot, suasana komunikasi antara legislatif dan eksekutif masih berjalan konstruktif. DPRD berkomitmen untuk menjaga transparansi dan keterbukaan agar keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan masyarakat luas.
Tantangan Pembangunan Daerah Tahun 2026
Gunungkidul masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan, mulai dari pemerataan ekonomi antarwilayah, pengentasan kemiskinan, hingga peningkatan daya saing pariwisata dan UMKM. Dalam RAPBD 2026, pemerintah daerah menargetkan peningkatan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2–5,5%, dengan fokus pada pengembangan sektor pertanian, pariwisata berbasis desa, serta digitalisasi layanan publik.
Namun, dengan berkurangnya dukungan dana dari pusat, upaya mencapai target tersebut memerlukan strategi anggaran yang kreatif dan realistis. Pemangkasan sejumlah program non-esensial menjadi pilihan yang tak terhindarkan, agar prioritas utama seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar tetap terjamin.
Kesimpulan
Keterlambatan pembahasan RAPBD 2026 Gunungkidul menggambarkan kompleksitas dinamika antara keterbatasan fiskal dan kebutuhan pembangunan daerah. Meski menghadapi tekanan waktu, para pemangku kebijakan diharapkan mampu menyepakati rancangan anggaran yang berpihak pada masyarakat tanpa mengorbankan stabilitas keuangan daerah.
Rapat paripurna pada 14 November mendatang akan menjadi momentum penting: apakah Gunungkidul dapat menuntaskan pembahasan RAPBD tepat waktu, atau justru menjadi salah satu daerah yang terancam sanksi administratif akibat keterlambatan pengesahan.





